Bursa Asia Ditutup Cerah, Tapi Shanghai-IHSG Loyo Nih

radarutama.comJakarta, CNBC Indonesia – Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup di zona hijau pada perdagangan Rabu (11/1/2023), di tengah sikap investor yang menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) dan China besok.

Hanya indeks Shanghai Composite China dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang ditutup di zona merah pada hari ini. Indeks Shanghai ditutup melemah 0,24% ke posisi 3.161,84 dan IHSG terkoreksi 0,57% menjadi 6.584,45.

Sementara sisanya ditutup di zona hijau. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melonjak 1,03% ke posisi 26.446, Hang Seng Hong Kong menguat 0,49% ke 21.436,05, Straits Times Singapura bertambah 0,26% ke 3.271,51, ASX 200 Australia melesat 0,9% ke 7.195,3, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,35% menjadi 2.359,53.

Dari Korea Selatan, data tingkat pengangguran periode Desember 2022 naik menjadi 3,3%, menjadi yang tertinggi dalam 11 bulan terakhir, dari sebelumnya pada November 2022 sebesar 2,9%.

Terlepas dari angka pengangguran yang lebih tinggi, jumlah total orang yang bekerja pada tahun 2022 mencapai 28,089 juta, naik dari 816.000 dari tahun 2021.

Di lain sisi, investor masih mencerna komentar dari pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang mengisyaratkan prospek suku bunga yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.

Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan dalam pidatonya kemarin bahwa bank sentral berkomitmen kuat untuk menurunkan inflasi, meskipun berpotensi memangkas pertumbuhan ekonomi dan memicu tekanan dari politisi.

“Stabilitas harga adalah bantalan utama bagi ekonomi yang sehat dan memungkinkan masyarakat mendapatkan keuntungan yang tak terhitung dari waktu ke waktu,” tutur Powell, dalam pidatonya di Riskbank Conference Selasa kemarin dikutip dari CNBC International.

Powell menambahkan komitmen The Fed untuk memerangi inflasi bisa berdampak buruk ke pertumbuhan ekonomi AS.

“Memulihkan stabilitas harga saat inflasi tinggi membutuhkan upaya yang mungkin tidak populer dalam waktu dekat karena bisa memperlambat ekonomi,” imbuhnya.

Tak hanya Powell saja, beberapa pejabat The Fed pun mengharapkan yang sama. Mary Daly, Presiden The Fed San Francisco dan Raphael Bostic, Presiden The Fed Atlanta, dalam komentar pada Senin lalu menyoroti bahwa suku bunga perlu naik di atas 5% dan tetap di sana untuk beberapa waktu. Suku bunga acuan The Fed saat ini berkisar antara 4,25% dan 4,5%.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar kini melihat The Fed akan menaikkan suku bunga masing-masing 25 basis poin pada Februari dan Maret, sehingga puncaknya menjadi 4,75% – 5%.

Probabilitas kenaikan 25 basis poin pada Februari sebesar 75% dan pada Maret 65,9%.

Dengan data ekonomi AS yang sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pelambatan, pelaku pasar melihat peluang The Fed bisa menurunkan suku bunga lebih cepat.

Perangkat FedWatch menunjukkan suku bunga bisa dipangkas di akhir 2023.

Hal ini tentunya berbeda dengan proyeksi The Fed yang diberikan Desember lalu. Bank sentral paling powerful di dunia ini sebelumnya mengindikasikan akan menaikkan suku bunga dua kali lagi, 50 basis poin pada Februari dan 25 basis poin sebulan berselang hingga menjadi 5% – 5,25%.

The Fed sebelumnya juga menyatakan suku bunga tidak akan diturunkan hingga 2024.

Sementara itu, investor di Asia-Pasifik akan menanti rilis data inflasi di AS dan China periode Desember 2022 besok.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!