Dominasi Lelaki atas Nama Jalan

PADA saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengganti nama 22 jalan dengan nama seniman Betawi dan tokoh Jakarta, perhatian publik langsung tertuju ke Pengadilan Negeri Kebumen.
 
PN Kebumen, Jawa Tengah, sedang menggelar perkara terkait dengan gugatan warga atas kebijakan Bupati Kebumen Arif Sugiyanto yang mengganti nama jalan. Perkara ini menginspirasi warga Ibu Kota untuk menempuh langkah serupa ketimbang protes tak berujung.
 
Arif Sugiyanto meresmikan perubahan penetapan nama jalan di beberapa ruas jalan protokol di Kota Kebumen pada 17 Desember 2021. Penggantian nama jalan di Kebumen tersebut bertujuan menghargai dan mengenang jasa para pahlawan nasional serta jasa dari para tokoh daerah Kebumen.


Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Penggantian nama jalan itu ditolak warga sehingga berujung di pengadilan. Warga mendaftarkan perkara nomor 9/Pdt.G/2022/ PN Kbm pada 15 Februari 2022. Sudah dua kali sidang digelar.

Tidak tanggung-tanggung, warga menuntut ganti rugi Rp50 miliar dan meminta hakim menghukum tergugat untuk mengembalikan nama-nama jalan yang diubah ke nama semula.
 
Penggantian nama jalan dengan nama pahlawan nasional dan tokoh daerah memang menjadi tren. Di Jakarta, pada 1950, sebanyak 90 jalan berbau Belanda dan Tionghoa diganti antara lain dengan nama pahlawan. Misalnya, Oranje Boulevard diganti menjadi Jalan Diponegoro, Nassau Boulevard menjadi Jalan Imam Bonjol, dan Heutsz Boulevard menjadi Jalan Teuku Umar.
 
Persoalan lain muncul terkait dengan kesetaraan gender. Penelitian Zeffry Alkatiri dari Universitas Indonesia menyebutkan hampir 90 persen nama jalan di Jakarta didominasi nama lelaki.
 
Hanya 2 dari 22 nama jalan yang diganti dengan nama seniman Betawi dan tokoh Jakarta ialah perempuan. Mereka ialah Mpok Nori dijadikan nama jalan di Bambu Apus Raya dan Hj Tutty Alawiyah diabadikan nama jalan di Warung Buncit Raya.
 
Kiranya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih banyak lagi mengabadikan nama perempuan untuk jalan melengkapi yang sudah ada seperti Jalan Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Radin Intan, dan Jalan Rasuna Said.
 
Gubernur Jakarta Anies Baswedan mengatakan perubahan nama jalan itu demi mengenang jasa para tokoh Jakarta. Jasa para tokoh yang sudah meninggal memang patut dikenang seperti esai Sanento Yuliman berjudul Dalam Bayangan sang Pahlawan.
 
“Arwah para pahlawan harus selalu dibangkitkan, yaitu ditampilkan ke dalam kesadaran kita. Hal ini kita lakukan dengan jalan pengheningan cipta, ikrar-ikrar, upacara-upacara, dan pidato-pidato pada setiap kesempatan—makin sering makin baik. Nama pahlawan tercantum di jalan-jalan, idealnya pada semua jalan dan gang,” tulis Sanento Yuliman.
 
Meski demikian, sejarah pula membuktikan, nama-nama jalan juga menjadi media untuk merepresentasikan kekuasaan. Jalan sebagai representasi kekuasaan muncul dalam penelitian Sarkawi B Husain yang sudah dibukukan dengan judul Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960).

 

Halaman Selanjutnya

Disebutkan bahwa setiap kekuasaan membutuhkan…


Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!