Memahami Gen Z Indonesia

radarutama.com – belum sepenuhnya tuntas mengenal karakter sejati dari generasi milenial . Namun kini kita didesak untuk segera menelisik siapa itu generasi z ( gen z ).

Gen z diyakini memiliki karakter yang berbeda dengan generasi milenial. Pandangan tersebut kini mengemuka dalam berbagai kajian di belahan dunia Barat.

Gregg Witt dan Derek Baird, pengkaji kultur anak muda serta kajian interaksi generasi muda dengan internet, menekankan perbedaan gen z dengan milenial melalui buku riset mereka berjudul The Gen Z Frequency.

Gregg Witt pernah berbagi temuan melalui sebuah sesi IG (Instagram) live dengan penulis mengenai fenomena gen z di Amerika Serikat (AS) pada 2019. Witt menwanti-wanti bahwa kesalahan terbesar yang dilakukan para stakeholder generasi muda adalah menyamakan gen z dengan milenial.

Pada kenyataannya gen z memiliki aspirasi serta keresahan yang berbeda dengan milenial. Witt mengemukakan bahwa gen z cenderung menunda berbagai tanggung jawab serta peran dari orang dewasa melebihi milenial.

Gen z sendiri adalah sebuah fenomena global. Berdasarkan survei dari World Bank, 42 persen dari populasi global berusia di bawah 25 tahun, mereka teridentifikasi sebagai gen z menurut Witt dan Baird. Pertumbuhan gen z paling pesat tejadi di Asia Selatan serta Afrika.

Di Indonesia, data BPS tahun 2021 memaparkan bahwa jumlah anak muda yang lahir di atas tahun 2013 berjumlah 11 persen dari seluruh populasi. Dengan demikian, gen z perlu ditempatkan sebagai sebuah kebangkitan demografi serta emerging culture yang penting untuk dikaji.

Revolusi dan Generasi

Jumlah demografi dari gen z yang besar kini meresahkan tak hanya generasi pra internet tetapi juga kakak terdekatnya yaitu milenial. Mclean, sebuah majalah Kanada, telah melakukan sebuah kajian khusus mengenai gap generasi antara milenial dan gen z dengan tajuk artikel “In Defence of Generation Z” yang terbit Maret 2023.

Melalui berbagai wawancara dengan para gen z, majalah Mclean menggarisbawahi perbedaan aspirasi serta falsafah kehidupan dari gen z. Gen z tidak lagi meyakini time is money (waktu adalah uang) maupun hustle culture (kultur kerja keras), mereka lebih meyakini life balance (keseimbangan hidup) sebagai jalan utama menuju kebahagiaan.

Rasa damai, ketenangan jiwa, serta kesejahteraan mental merupakan prioritas hidup yang dianggap lebih patut untuk diperjuangkan gen z melebihi kesuksesan di bidang akademis maupun kerja. Gen z memiliki definisi kebahagiaan yang sedikit berbeda dengan generasi pendahulunya.

Mereka akan menuntut waktu bagi diri mereka sendiri untuk healing baik melalui kegiatan hobi, kesehatan, maupun spiritual. Perubahan prioritas hidup dari gen z telah mendesak dunia kerja untuk juga beradaptasi dengan aspirasi dengan gen z.

Hal ini sejalan dengan prediksi future of work sebagaimana dilansir majalah Forbes tahun 2021, di mana perusahaan tidak akan lagi memaksa pegawai untuk bekerja di kantor untuk mencapai produktivitas, tetapi bekerja secara hybrid bahkan sesuai dengan regulasi waktu dari pegawai itu sendiri.

‘Bonus demografi’ serta ‘generasi emas’ adalah dua narasi yang kerap disandingkan dengan pertumbuhan demografi muda di Indonesia. Optimisme terhadap generasi muda merupakan sesuatu yang penting untuk dipegang para stakeholder generasi muda, namun hal tersebut kerap membuat para stakeholder terlena dari melakukan penyesuaian yang strategis terhadap perubahan kultur generasi yang tengah terjadi.

Para stakeholder juga perlu untuk secara serius mempertimbangkan referensi dari dunia sains mengenai implikasi dari jumlah demografi muda yang dominan. Jack Goldstone, seorang pengkaji berbagai fenomena revolusi di dunia menemukan bahwa terdapat kaitan yang erat antara gejolak revolusi dengan perubahan demografi sebuah bangsa, terutama demografi mudanya.

Kajian Goldstone telah dikonfirmasi Hanamaka (2016) yang menemukan keterkaitan antara merebaknya revolusi Arab Spring di Timur Tengah dengan pertumbuhan jumlah anak muda di kawasan tersebut. Energi kaum muda yang mudah meluap, serta kesenjangan peluang kerja antara generasi muda dengan generasi pendahulunya merupakan beberapa aspek yang memicu revolusi sosial-politik di Timur Tengah.

Energi, gagasan, serta karya kreasi dari generasi muda membutuhkan ruang penyaluran yang dipersiapkan secara matang oleh pengampu kebijakan. Kebijakan yang matang membutuhkan pemahaman tentang generasi yang mendalam berbasis sains dan data.

Para pengampu kebijakan dengan cara berpikir pintas atau heuristic terhadap generasi muda umumnya tidak melihat generasi muda sebagai subyek dari perubahan sosial, tetapi melihat mereka hanya sebagai lumbung suara saat musim elektoral.

Gen Z di Indonesia

Pertanyaan penting berikutnya yang perlu dilontarkan untuk lebih memahami generasi muda di Indonesia adalah siapakah gen z di Indonesia? Istilah milenial maupun gen z adalah istilah yang sesungguhnya bersifat khas.

Kedua istilah tersebut lahir dari rentang generasi yang dipisahkan oleh sebuah critical moment di AS, yaitu peristiwa sosial-politik berupa Perang Dingin pada akhir dekade 70-an serta meningkatnya fertilitas penduduk pada awal dekade 80-an di AS.

Pembagian generasi berdasarkan peristiwa penting di AS yang melahirkan milenial serta gen z di rumuskan pertama kali oleh Neil Howe dan William Strauss melalui buku “Generations: The History of America’s Future 1584 to 2069”.

Pembagian generasi yang kontekstual serta akurat tidak mengacu pada rentang periode tertentu, akan tetapi mengacu kepada sebuah peristiwa besar yang mengubah tantanan sosial, ekonomi, maupun politik di sebuah bangsa. Pembagian generasi berbasis peristiwa pertama kali dikemukakan oleh Karl Manheim melalui sebuah esai berjudul “Problem of Generations”tahun 1928.

Manheim menyebutnya dengan pendekatan romantisme sejarah. Penulis mengacu kembali kepada pendekatan Manheim, begitu pula Neil Howe dan William Strauss untuk merumuskan rentang generasi yang kontekstual di Indonesia.

Berdasarkan studi generasi muda yang penulis lakukan selama lebih dari satu dekade, serta kajian literatur penulis menetapkan bahwa generasi yang mengalami masa coming of age atau remaja pada saat Reformasi 98 adalah generasi yang paralel dengan milenial di AS.

Penulis menyebutnya dengan istilah generasi phi (singkatan dari pengubah Indonesia). Usia remaja menjadi penentu dari sebuah generasi bukan tahun lahir, sebab kristalisasi nilai-nilai, keyakinan, maupun karakter dari seorang anak muda baru terbentuk pada masa remaja.

Prof Slamet Iman Santoso, pendiri Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), dalam Pembinaan Watak Tugas Utama Pendidikan (1979) bahkan menyebut masa remaja sebagai projective years, sebab ia dapat memprediksi kepribadian yang akan terbentuk pada sebuah generasi pada saat telah dewasa.

Generasi Neo Alpha

Generasi Phi: Mengenal Milenial Pengubah Indonesia (2017), Generasi Kembali ke Akar” (2019), serta Pasar dan Karier Kembali ke Akar (2022) adalah tiga buku penulis mengenai pembagian generasi berdasarkan konteks serta sejarah yang berlaku di Indonesia.

Dalam Pasar dan Karier Kembali ke Akar dipaparkan bahwa pandemi Covid-19 merupakan sebuah critical moment yang begitu kuat dampaknya pada remaja hingga melahirkan sebuah generasi dengan arketipe karakter baru, yaitu generasi yang disebut sebagai generasi neo-alpha .

Generasi neo-alpha hampir paralel dengan gen z di AS adalah generasi yang mengalami masa remaja saat Covid-19 mengubah tatanan kehidupan di Tanah Air.

Istilah gen z sesungguhnya tidak berlaku global, bangsa Prancis sebagai contoh secara khusus memilih untuk tidak menggunakan istilah milenial maupun gen z. Prancis menggunakan istilah enfant du numerique sebagai istilah yang merujuk pada generasi muda pasca kehadiran teknologi telepon genggam.

Generasi neo alpha adalah generasi yang kini kerap di label sebagai gen z. Generasi ini kini tengah mengalami gejolak yang sulit dimengerti. Setelah pembatasan sosial diturunkan, Indonesia langsung dikejutkan dengan berbagai fenomena gen neo-alpha, yaitu mulai dari fenomena Citayam Fashion Week, klitih, hingga penganiayaan karena permasalahan pacar.

Energi dari generasi neo alpha telah tertahan dalam berbagai restriksi selama masa pandemi Covid-19. Laptop atau telepon genggam adalah satu-satunya media katarsis energi yang mereka bisa gunakan selama masa restriksi serta pembatasan sosial yang berlangsung hampir tiga tahun lamanya.

Seperti sebuah tali busur panah yang ditarik kencang sepanjang tiga tahun, kini busur panah tersebut terlepas, melesat begitu kencang menabrak apapun yang menghadangnya. Gen neo alpha haus akan tekstur dari kehidupan remaja yang selama ini belum mereka rasakan.

Mencari Identitas

Para neo alpha memenuhi setiap festival musik yang bisa mereka hadiri, walaupun band yang tampil terpaut jauh dari era mereka. Geng-geng di sekolah bermunculan sebagai sebuah simulasi pembentukan identitas, hubungan pacaran di kalangan remaja menjadi ekstensif hingga membingungkan para guru, tawuran pelajar kembali menjadi masalah di tengah ruang kota.

Fenomena itu terjadi karena para stakeholder dari generasi muda belum siap dengan ruang maupun aktivitas penyaluran energi dari kaum neo alpha yang tertahan selama pandemi.

Generasi neo alpha kembali ke modul pergaulan remaja yang mirip dengan remaja di era 80-an hingga awal 90-an. Mereka ingin mengisi tabula rasa yang belum memiliki tekstur dalam rangka mencari jati diri secara radikal melalui berbagai ruang sosial.

Asumsi bahwa para neo alpha adalah generasi rebahan serta apatis secara sosial adalah asumsi yang kurang tepat. Generasi ini adalah generasi yang tengah bergulat mencari life balance dan identitas diri yang lebih utuh.

Menempatkan para neo alpha dalam gerbong revolusi industri 4.0 dan menuntut mereka untuk bisa lebih cakap dari artificial intelligence justru akan menimbulkan ketidakseimbangan mental yang lebih dahsyat pada diri mereka.

Generasi neo alpha membutuhkan sebuah ruang kolektif di tengah kehidupannya, yaitu, ruang di mana anak muda dari berbagai kelas sosial maupun latar belakang etnis dapat secara inklusif tampil untuk berbagi pengetahuan, karya, pemikiran, hingga keresahan.

Ruang kolektif tidak mesti mewah dengan rumput sintetis, bean bag, maupun memiliki bentuk ruangan yang instagrameable. Ruang kolektif sendiri telah bermunculan secara sporadis di berbagai sudut kota sebagai oase bagi anak muda dengan menggunakan ruang garasi hingga ruang keluarga dari hunian biasa.

Ruang kolektif adalah ruang di mana generasi neo alpha dapat menemukan identitas dirinya secara aman dengan menampilkan diri dan melihat penampilan dari teman seusianya.

Empati Lintas Generasi

Generasi neo alpha adalah generasi yang rindu akan suasana keluarga, sebab mereka tumbuh besar pada sebuah zaman di mana sosok ayah dan ibu sibuk dengan berbagai kegiatan ekonomi. Keluarga tidak lagi menjadi sebuah institusi sosial yang utuh.

Tradisi bincang keluarga di tengah santapan malam menjadi langka, walaupun terlaksana bincang keluarga kerap terdistraksi dengan perilaku kompulsif untuk melihat telepon genggam masing-masing anggota keluarga.

Generasi neo alpha, sekali lagi adalah generasi yang tengah mencari life balance dan jati diri, mereka teramat membutuhkan sudut pandang orang tua sebagai asupan nilai-nilai kehidupan mereka.

Keberhasilan dari generasi neo alpha di masa mendatang di luar dugaan lebih bergantung pada kemampuannya untuk berempati terhadap generasi pendahulunya. Sebab, keberhasilan seseorang dalam mengarungi berbagai gelombang krisis yang kini tengah menerpa manusia abad 21 hanya bisa dicapai dengan menggunakan kearifan generasi terdahulu.

Hal ini dikemukakan seorang futurolog AS bernama Ari Wallach melalui bukunya The Long Path: Becoming the Ancestors Our Future Needs”. Wallach menekankan bahwa permasalahan krisis iklim, transisi energi, kepunahan biodiversitas, krisis kesehatan, hingga perang tidak bisa diselesaikan dengan cara berpikir pintas.

Permasalahan-permasalahan tersebut hanya bisa diselesaikan dengan mengambil perspektif jangka panjang dari generasi terdahulu, bahkan leluhur.

Interaksi bermakna antara generasi neo alpha dengan generasi-generasi senior merupakan peristiwa yang penting untuk dihadirkan baik pada tatanan keluarga maupun tatanan kebangsaan. Neo alpha tidak membutuhkan lebih banyak piranti canggih dalam kehidupan mereka, akan tetapi yang mereka butuhkan adalah piranti nilai yang dapat digunakan untuk memahami zaman maupun diri mereka sendiri.

Generasi senior pun tidak boleh merasa galau dengan perubahan zaman, mereka harus percaya bahwa kearifan kehidupan yang telah diperoleh melalui pengalaman masih penting untuk diwariskan kepada generasi penerus.

Memahami generasi neo alpha adalah upaya untuk memahami generasi z Indonesia. Mereka bukan orang asing, tetapi anak atau cucu dari sulbi generasi kita sendiri. Bagaimanapun juga mereka masih menyimpan DNA arketipe serta kepribadian sebagai orang Indonesia. Mereka masih memiliki karakter gotong royong, cinta Tanah Air, berketuhanan, serta keyakinan akan keadilan sosial.

Percepatan teknologi secara eksponensial tengah membuat generasi neo alpha lebih mendengarkan dunia eksternal dibandingkan dengan dunia internal mereka sendiri. Generasi neo alpha hanya perlu disentuh secara empati agar mereka lebih mendengarkan suara dari dalam diri mereka sendiri.

Apabila generasi tersebut telah menemukan suara otentik dari dalam diri mereka sendiri, maka revolusi mental yang sesungguhnya pasti akan menjadi kenyataan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!