Urgensi Praktik Kepemimpinan Berbasis Data

radarutama.com – berbagai petuah atau adagium tentang data di era sekarang. Yang paling terkenal adalah “Data is a new oil.”

Tepatkah berpikir data merupakan hal terpenting sekarang? Menurut saya tepat karena inovasi saat ini berhubungan dengan data. Contohnya adalah pembuatan mobil pintar. Agar beroperasi optimal, mobil pintar membutuhkan banyak data tentang sikap manusia ketika berada di jalan raya. Kita bisa bayangkan berapa banyak data dan variabel yang dibutuhkan.

Dalam konteks organisasi, data menjadi penting jika ingin menavigasikan organisasi atau perusahaan ke arah kebijakan yang lebih tepat. Data mengandung banyak wawasan menarik jika pemimpin pintar menguak apa cerita di baliknya.

Definisi Data Leadership

Kepemimpinan berbasis data (data leadership) mengacu pada kemampuan seorang pemimpin untuk secara efektif menggunakan data guna mendorong pengambilan keputusan, strategi, dan inovasi dalam suatu organisasi. Banyak orang berbicara tentang data, bagaimana data akan mengubah dunia. Tetapi, jarang yang membicarakan apa yang bisa kita lakukan dengan data dan bagaimana mengubah data menjadi suatu kebijakan yang berdampak bagi banyak orang.

Di aspek inilah kepemimpinan data memainkan peran vitalnya. Istilah kepemimpinan data baru muncul dalam beberapa waktu belakangan, namun beberapa definisinya sudah diutarakan oleh berbagai pakar kepemimpinan.

Anthony Algmin, founder Algmin Data Leadership mengatakan, “Data leadership is how we choose to apply our limited energy and resources toward creating data capabilities to influence our business.” Algmin menekankan pada kapabilitas pemimpin untuk menciptakan dan mengolah data untuk memengaruhi bisnis, organisasi, dan perusahaan.

Argon & Co, perusahaan konsultan global juga punya definisi sendiri. Menurut mereka, kepemimpinan data adalah pendekatan yang integral terhadap kepemimpinan, manajemen perubahan, dan analisa data di lingkungan yang terus berubah. Kepemimpinan data termasuk kompetensi organisasi yang meningkatkan konektivitas antara layanan, produk, layanan, dan proses.

Sementara Aryng, perusahaan data konsultan, berpendapat bahwa kepemimpinan data adalah aspek paling penting dalam bagaimana membawa budaya literasi data dalam organisasi. Mereka menggarisbawahi peran penting pemimpin, sebab tanpa pemimpin yang punya literasi data, mustahil bagi perusahaan atau organisasi untuk memiliki literasi data yang mumpuni.

Dari tiga definisi itu, saripati kepemimpinan data adalah tentang pendekatan: bagaimana mengolah data dengan tepat dan bagaimana pemimpin punya peran penting untuk mengubah data yang dimiliki menjadi sebuah kebijakan yang berdampak besar bagi organisasi atau perusahaan.

Data menjadi faktor pembeda yang menentukan performa organisasi, terlebih dengan kultur yang semakin mengedepankan pendekatan berbasis data.

McKinsey melakukan survei tahun 2018 tentang bagaimana dampak pengoptimalan data terhadap pelaku industri. Mereka menemukan, 47 persen pelaku industri mengakui data dan analisa mengubah secara fundamental kompetisi di industri.

Google juga memprediksi bahwa tahun ini 82 persen organisasi ingin memastikan semua kemampuan yang mendukung data lengkap dan alur kerja AI (artificial intelligence) terintegrasi dengan platform cloud perusahaan.

Indeks Literasi Data Qlik tahun 2018 menemukan, organisasi yang mampu memanfaatkan sumber datanya mengalami peningkatan kinerja. Mereka menghasilkan total nilai perusahaan yang lebih tinggi, yakni sebesar 3-5 persen. Persentase tersebut setara dengan 500 juta dolar AS.

Kita perlu mempertimbangkan juga perkembangan kecerdasan buatan atau AI yang akan semakin masif digunakan. Pada survei McKinsey tahun 2021, perusahaan besar melihat teknologi sebagai pembeda yang signifikan di antara kompetitor.

Dari sini, kita bisa melihat relevansi dan urgensi kepemimpinan data. Singkatnya, organisasi yang memiliki data leaders menjadi pembeda yang akan menentukan maju atau tidaknya organisasi mereka.

Kenapa Data Leadership Penting?

Beberapa alasan mengapa kepemimpinan data penting. Pertama, adanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik. Dengan memanfaatkan data, para pemimpin dapat membuat keputusan berdasarkan informasi yang lebih baik yang didasarkan pada bukti ketimbang insting atau intuisi.

Hal itu mengarah pada pengambilan keputusan yang lebih akurat, efisien, dan efektif.

Kedua, adanya peningkatan efisiensi. Dengan memanfaatkan data untuk mengidentifikasi area perbaikan dan mengoptimalkan proses, para pemimpin dapat merampingkan operasi dan meningkatkan efisiensi di seluruh organisasi.

Ketiga, adanya peningkatan inovasi. Pemimpin yang menggunakan data secara efektif dapat mengidentifikasi tren yang muncul, melihat peluang untuk inovasi, dan mengembangkan strategi untuk tetap terdepan dalam persaingan.

Keempat, adanya akuntabilitas yang lebih besar. Melalui penetapan tujuan yang jelas dan melacak kemajuan menggunakan data, para pemimpin dapat membuat diri mereka sendiri dan tim mereka bertanggung jawab atas hasil.

Terakhir, hadirnya potensi kolaborasi yang lebih baik. Dengan berbagi data dan wawasan ke seluruh tim dan departemen, para pemimpin dapat menumbuhkan budaya kolaborasi dan pengambilan keputusan berdasarkan data, yang menghasilkan hasil yang lebih baik dan keterlibatan karyawan yang lebih tinggi.

Kurangnya Kapabilitas Literasi Data

Karena itu, kita perlu meningkatkan literasi data. Gartner pernah membuat dua riset menarik tentang data. Riset pertama keluar tahun 2021. Bunyinya adalah di tahun 2025 sebanyak 70 persen organisasi akan mengalihkan fokus mereka dari big data ke small data.

Pergeseran itu bertujuan agar organisasi mampu mengontekstualisasikan data yang dimiliki serta mengurangi tingkat kehausan data kecerdasan buatan.

Riset kedua muncul tahun 2022, saat literasi data akan menjadi faktor penting dalam mendorong nilai bisnis, yang mana lebih dari 80 persen strategi data dan analitik serta program manajemen perubahan menyertakan kemampuan literasi data.

Namun sayangnya, literasi data merupakan kemampuan yang belum dimiliki banyak orang, bahkan di negara maju sekalipun. Menurut kondisi literasi data global Accenture tahun 2020, bukan Amerika Serikat (AS) yang tenaga kerjanya memiliki kemampuan literasi data tertinggi, melainkan India (46 persen).

Hanya 28 persen tenaga kerja AS terliterasi data. Bahkan, Jepang yang merupakan negara dengan teknologi maju hanya 9 persen tenaga kerjanya yang terliterasi data. Hal ini menunjukkan kemampuan literasi data masih belum menjadi prioritas.

Menurut Profesor MIT Catherine D’Ignazio dan ilmuwan riset Rahul Bhargava, kemampuan literasi data terdiri dari empat komponen yaitu membaca data, bekerja dengan data, analisa data, dan berargumen dengan data.

Sayangnya, kemampuan tertinggi yang saat ini dimiliki hanyalah membaca data. Menurut riset Accenture 2020, kemampuan membaca memiliki persentase paling tinggi, yakni 75 persen, membaca dan menginterpretasikan data (65 persen), mengomunikasikan data secara internal (63 persen), dan membuat keputusan berbasis data (63 persen), serta mengomunikasikan data secara eksternal (46 persen).

Hasil riset Accenture menunjukkan, kita punya kemampuan membaca data yang baik. Tetapi di sisi lain, hal itu berarti bahwa kita masih terjebak dalam lapisan luar literasi data. Semakin dalam lapisannya, persentase penguasaannya semakin sedikit, yang mengindikasikan literasi data para anggota belum sampai pada tingkat analisa dan pengambilan keputusan.

Keadaan tersebut memengaruhi tingkat kepercayaan diri organisasi dalam mengelola dan menganggap datanya sebagai aset.

Riset NewVantage tahun 2021 menemukan, hanya 39,3 persen eksekutif yang percaya organisasinya mampu mengelola data sebagai aset. Bahkan, hanya 24 persen eksekutif yang menganggap perusahaannya digerakkan oleh data (data-driven culture).

VentureBeat bahkan lebih sedikit lagi. Dalam survei mereka yang dilakukan tahun 2021, hanya 13 persen eksekutif yang percaya bahwa organisasi mereka menjalankan strategi data mereka.

Apa yang bisa kita pelajari dari riset-riset ini? Pertama, ada ruang yang besar bagi pemimpin untuk menciptakan budaya berbasis data dengan meningkatkan tingkat literasi data seluruh anggotanya.

Kedua, literasi data masih belum menjadi prioritas karena data dianggap take it for granted. Kita tidak menggali apa cerita di balik sebuah data dan apa yang bisa kita lakukan terhadapnya.

Profesor dari MIT, Rama Ramakhrisnan, mengemukakan hal ini dengan mengajukan pertanyaan yang sangat tepat, “The goal for a leader, from a data literacy perspective, should be, ‘How can I be a fast but effective consumer of analysis that is produced by my organization?

Membangun Budaya Berbasis Data

Untuk menyikapi fenomena kurangnya literasi data, pemimpin perlu membiasakan anggotanya berbicara dengan data, mencari data dengan berbagai tools dan cara yang optimal, serta mengolah data menjadi wawasan yang berguna untuk organisasi ke depan.

Bagaimana caranya? Pemimpin data perlu menggeser pola pikir bahwa data adalah tentang mengoperasikan tools teknologi. Kepemimpinan data tidak hanya berbicara soal mengoperasikan berbagai perangkat analisa – walaupun itu juga penting. Itu hanya lapisan terluarnya.

Kita perlu bertanya: bagaimana agar data yang kita miliki bisa menyelesaikan permasalahan. Pertanyaan ini tidak bisa dijawab hanya dengan mengoptimalkan pengoperasian tools analisis. Justru, jawaban dari pertanyaan ini bisa ditemukan ketika kita berinteraksi dengan anggota kita.

Mengapa demikian? Keith Ferrazi, penulis buku best-selling, pelatih eksekutif, dan pendiri Ferrazi Greenlight mengatakan, kepemimpinan data harus turun ke bawah, mendengarkan keluhan dan permasalahan anggotanya.

Kepemimpinan data adalah soal terhubung dengan kolega, mengembangkan dan mengeksekusi visi bersama, membangun tujuan bersama dan metrik kesuksesan, serta menggapai tujuan strategis bersama.

Sadun, et al (2022), melakukan penelitian untuk melihat tren kemampuan apa yang dibutuhkan untuk mengisi CEO. Hasil riset mereka menunjukkan bahwa selama tahun 2000 – 2017 ada perubahan tren, yaitu seorang CEO harus memiliki kemampuan sosial yang sangat baik.

Semua keluhan dan permasalahan anggota sebenarnya juga sebuah data, baik itu sifatnya kuantitatif maupun kualitatif. Permasalahan anggota adalah data yang dapat diolah untuk bisa menyelesaikan permasalahan di organisasi.

Dalam perspektif analisa data, mengetahui permasalahan yang dihadapi anggota akan membuat pemimpin bisa mengambil keputusan dengan lebih cepat dan tepat. Untuk mengulik permasalahan anggota, kemampuan sosial (membaca karakter, memposisikan diri, komunikasi yang dinamis) menjadi angat penting.

Itu berarti, kita kembali lagi ke esensi kepemimpinan, yakni bagaimana terhubung dengan anggota agar mampu memimpin dengan efektif serta menyelesaikan permasalahan. Kemampuan ini juga sangat dibutuhkan organisasi.

Berdasarkan survei McKinsey tahun 2021, memimpin dan mengelola manusia serta berpikir kritis dan mengambil keputusan merupakan dua kemampuan yang sangat dibutuhkan. Kemudian, pemimpin harus membentuk budaya data-driven yang solid.

Pemimpin bisa membuat kebijakan di mana anggotanya diharuskan berbicara berdasarkan data. Data yang dipaparkan bisa dalam bentuk kualitatif maupun kuantitatif. Pembiasaan ini akan meningkatkan daya berpikir analitis, kritis, dan kreatif.

Ketika mindset tentang literasi data ini sudah terbentuk, pemimpin perlu melatih anggotanya untuk mengoperasikan tools yang dibutuhkan. Di Indonesia, kemampuan ini sangat dibutuhkan oleh anggota karena termasuk dalam skill digital yang esensial. Sayangnya, ada gap antara keinginan dan realisasi. Hal ini terjadi di Indonesia.

Berdasarkan survei Amazon Web Service (AWS) dan AlphaBeta, 99 persen perusahaan membutuhkan pelatihan digital, tetapi hanya 36 persen perusahaan yang sudah menyediakannya.

Padahal kemampuan berbasis data dan digital sangat dibutuhkan. Berkaca dari fakta ini, pemimpin data bisa melakukan kolaborasi dengan perusahaan yang memang sudah terbiasa menyediakan pelatihan. Ini investasi yang sifatnya jangka panjang dan mungkin akan terlihat dalam beberapa waktu ke depan.

Namun, hal itu harus dilakukan agar organisasi memiliki modal manusia yang mumpuni dan membuat organisasi bisa melesat jauh.

Kesimpulannya, organisasi membutuhkan kepemimpinan data yang mampu melihat vitalnya kemampuan literasi data. Tanpa kepemimpinan ini, organisasi mungkin akan terhambat kemajuannya, terlebih dengan semakin banyaknya data yang bisa diolah.

Peneliti MIT, Miro Kazakoff mengatakan, “In a world of more data, the companies with more data-literate people are the ones that are going to win.”

Karena itu, kepemimpinan data perlu melakukan perubahan secara menyeluruh, khususnya dalam hal pola pikir dan budaya. Literasi data adalah tentang pembiasaan. Budaya dan pola pikir yang menjadi corong utama. Ketika dua hal ini sudah dimiliki, perlahan organisasi bisa memberikan pelatihan yang dibutuhkan agar mereka bisa mengolah, memproses, dan menganalisa data dengan maksimal.

Saya berkeyakinan, berbagai organisasi dan perusahaan di Indonesia saat ini sedang mengembangkan talenta pemimpin yang memiliki literasi data yang kuat untuk mendukung keberlanjutan bisnisnya agar lebih efektif dan efisien. Kita perlu mendukung berbagai upaya baik para stakeholder agar makin banyak pemimpin bijaksana yang berbasis data bermunculan di banyak organisasi.

“The real data revolution is not about big data. It’s about having the right data at the right time to make the right decisions.” – Dan Ariely

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!