Ratifikasi Perjanjian FIR Disahkan, Apa Langkah Indonesia Selanjutnya?

radarutama.com – 9/ 2022), Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 109 Tahun 2022 Tentang Pengesahkan Ratifikasi Perjanjian Penyesuaian Batas Flight Information Region (FIR) dengan Singapura.

Perpres itu diterbitkan mendahului dua undang-undang (UU) yang mengesahkan ratifikasi Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Kerjasama Pertahanan (Defense Cooperation Agreement) dengan Singapura.

Pengesahan ratifikasi tiga perjanjian itu belumlah merupakan tahap akhir dari pemberlakuan ketiga perjanjian yang ditandatangani Indonesia dan Singapura pada 25 Januari lalu. Pengesahan Perjanjian Penyesuaian Garis Batas FIR melalui peraturan presiden tentu bukan lagi menjadi kejutan bagi masyarakat Indonesia.

Walaupun menyangkut kedaulatan negara, perjanjian penyesuaian FIR sejatinya mengatur hal-hal teknis tentang pelayanan jasa navigasi udara. Sehingga, Pemerintah Indonesia merasa perlu mengesahkan ratifikasi menggunakan perpres. Langkah ini patut diapresiasi untuk menjamin kepastian status perjanjian FIR dalam proses ratifikasi.

Namun, masih terdapat beberapa isu yang berkaitan dengan perjanjian FIR yang masih harus terus dikawal.

Dalam konferensi pers penandatanganan perpres yang dilakukan Presiden Jokowi, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, terdapat tiga masalah penting yang dapat memengaruhi kedaulatan dan kepentingan Indonesia selama pendelegasian pengelolaan FIR selama 25 tahun ke depan.

Civil military cooperation framework, prosedur clearances, dan pelanggaran wilayah udara

Masalah pertama yang berkaitan langsung dengan perjanjian FIR adalah soal civil-military cooperation (CMC) framework. Sejak perjanjian FIR ditandatangani, Pemerintah Indonesia telah berulang kali menggaungkan bahwa salah satu ketentuan yang diatur dalam perjanjian tersebut adalah mengenai kerja sama sipil dan militer dalam penyediaan jasa navigasi udara di FIR Singapura.

Kerja sama sipil dan militer itu penting dilakukan untuk menjamin pelanggaran wilayah udara di wilayah Indonesia yang dikelola oleh Singapura tidak lagi terjadi. Hal ini dapat dicapai melalui pemetaan tugas yang jelas dalam CMC Framework tentang prosedur pengajuan, pemberian, dan verifikasi diplomatic dan security clearances antara Indonesia dan Singapura.

Salah satu hal penting yang nantinya akan diatur dalam CMC Framework adalah mengenai penempatan personel militer Angkatan Udara (AU) Indonesia pada ATC Singapura di Changi, yang bertugas mengelola navigasi penerbangan di FIR Singapura.

Personel AU Indonesia itu selama masa pendelegasian harus dapat menjamin prioritas bagi penerbangan kenegaraan atau militer Indonesia yang menggunakan rute–rute di FIR Singapura di bawah ketinggian 37.000 kaki, khususnya untuk lalu lintas serta pendaratan dan lepas landas di pangkalan–pangkalan udara di wilayah Kepulauan Riau.

Selain itu, personel AU Indonesia yang akan ditempatkan di ATC Singapura, juga harus memiliki akses untuk memonitor dan memverifikasi semua clearances yang telah diajukan melalui sistem terpadu, untuk menjamin dan mengkomunikasikan kepada ATC Singapura bahwa pesawat udara asing yang memasuki wilayah Indonesia yang dikelola oleh Singapura telah memiliki izin yang sesuai.

Apabila tidak memiliki izin yang sesuai, personel AU tersebut harus menjamin bahwa penerbangan militer Indonesia untuk melakukan pencegatan atau pemaksaan mendarat, harus mendapatkan prioritas dari ATC Singapura.

Self-assessment jasa pelayanan navigasi udara Indonesia

Masalah kedua yang harus dihadapi adalah soal self-assessment jasa pelayanan navigasi udara Indonesia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, setiap negara, apabila menilai dirinya mampu untuk menyediakan jasa navigasi udara, maka harus melakukannya sendiri.

Penilaian itu harus dilakukan sendiri oleh masing–masing negara dan kemudian dilaporkan ke Regional Air Navigation Meeting masing–masing wilayah, untuk menentukan kesiapan masing–masing negara dalam mengelola Flight Information Region (FIR).

Tentu masyarakat yakin, bahwa sejak sebelum penandatanganan dan pengesahan ratifikasi perjanjian FIR , Pemerintah Indonesia telah melakukan penilaian diri atas sumber daya teknologi dan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk mengambil alih pengelolaan.

Tentunya, hasil dari self-assessment tersebut juga mengarah kepada perlunya pendelegasian kembali porsi ruang udara Indonesia dalam FIR Singapura selama 25 tahun ke depan.

Seharusnya, berdasarkan hasil self-assessment tersebut, Pemerintah Indonesia harus bersiap berinvestasi dalam meningkatkan perlengkapan-perlengkapan navigasi udara, pelatihan personel, serta menyiapkan segala sarana prasarana terkait lainnya, yang dinilai belum mumpuni atau belum lengkap.

Persiapan itu harus dilakukan segera dan bertahap, guna dapat menegosiasikan ulang perjanjian, sebelum atau sesudah masa 25 tahun perjanjian FIR berakhir.

Revisi UU Penerbangan

Masalah terakhir dan paling penting yang disampaikan saat konferensi pers penandatanganan Perpres Pengesahan Ratifikasi Perjanjian FIR adalah soal revisi Undang – Undang (UU) Penerbangan. Sejak ditandatanganinya perjanjian FIR, banyak kekhawatiran yang telah disampaikan, bahwa pendelegasian kembali pengelolaan ruang udara Indonesia yang berada di dalam FIR Singapura, bertentangan dengan Pasal 458 Undang – Undang Penerbangan.

Pasal 458 UU Penerbangan mengamanatkan bagi pemerintah dalam waktu 15 tahun sejak UU disahkan, harus mengevaluasi seluruh perjanjian pendelegasian pengelolaan wilayah udara dan memberikan pengelolaannya kepada penyedia jasa navigasi udara Indonesia.

Sudah tentu masyarakat melihat bahwa Pemerintah Indonesia telah berusaha memenuhi amanat UU dengan melakukan evaluasi tersebut. Setelah evaluasi pun, dan berdasarkan perjanjian yang baru, pengelolaan sebagian ruang udara Indonesia dalam FIR Singapura sudah dikelola kembali oleh Indonesia, yakni ruang udara di atas ketinggian 37.000 kaki.

Namun, setelah dilakukannya pengambilalihan, Indonesia kembali mendelegasikan pengelolaan ruang udaranya pada ketinggian 0 – 37.000 kaki. Hal ini dapat menjadi potensi pertentangan antara Perjanjian FIR dengan UU Penerbangan.

Dari perspektif hukum internasional, suatu perjanjian tidak dapat dibatalkan dengan dasar bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan ketentuan nasional. Perjanjian internasional dapat dibatalkan dengan dasar pertentangan tersebut, hanya ketika bertentangan dengan ketentuan konstitusional tentang siapa yang memiliki kuasa untuk membentuk perjanjian internasional.

Ketentuan itu diatur dalam Vienna Convention on the Law of Treaties tahun 1969. Berdasarkan hal tersebut, perjanjian FIR tidak lagi dapat dibatalkan dengan dasar pertentangan dengan UU Penerbangan.

Langkah selanjutnya yang harus dilakukan Pemerintah Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah menyiapkan revisi UU Penerbangan. Revisi UU Penerbangan dilakukan tidak hanya untuk menyelaraskan UU Penerbangan dengan komitmen–komitmen internasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam penerbangan sipil internasional, tetapi juga untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan penerbangan nasional, seperti penggunaan pesawat udara air, maupun penerbangan pesawat udara nirawak.

Langkah pemerintah selanjutnya

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia masih memiliki tugas penting, baik internal, maupun eksternal untuk mengawal implementasi Perjanjian Penyesuaian Garis Batas Flight Information Region.

Tugas pemerintah itu seharusnya juga dikawal dengan transparansi proses – proses yang telah dilalui dalam mempersiapkan dan menegosiasikan Perjanjian FIR, guna menjaring masukan-masukan konstruktif yang dapat memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi–negosiasi pengelolaan FIR ke depan.

Selain itu, 25 tahun pendelegasian kembali sebagian ruang udara Indonesia, harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk melakukan revitalisasi pelayanan jasa navigasi penerbangan yang nantinya juga akan memperkuat pengambilalihan pengelolaan ruang udara Indonesia secara keseluruhan di tahun 2047.

Terakhir, Indonesia harus mengevaluasi kembali seluruh perjanjian yang telah ditandatangani dengan negara–negara tetangga, khususnya Singapura. Evaluasi ini harus terus dilakukan untuk memastikan, bahwa posisi Indonesia tetap kuat dan terjaga.

Dalam kaitan dengan Perjanjian FIR, evaluasi harus terus dilakukan agar setelah jangka waktu 25 tahun, pendelegasian kembali ke Singapura tidak perlu dilakukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!