Cerita Pedagang Kelabakan Saat Jualan Pakaian Impor Bekas Dilarang

radarutama.com – Pedagang mengaku kelabakan saat pemerintah melarang penjualan pakaian impor bekas. Sosialisasi dari jauh-jauh hari dinilai penting agar tidak timbul kepanikan dari para pedagang.

Kepanikan para pedagang baju bekas impor diceritakan oleh Anggun Piputri yang juga selaku pelaku usaha thrifting. Dia sudah menjalani bisnis itu sejak 2017.

“Ketika muncul beritanya, orang semua jadi panik, pedagang panik, mereka harus ke mana, harus ngapain itu antisipasinya nggak ada. Memang peraturannya itu sudah ada sejak lama, tetapi sosialisasi itu penting mungkin pelan-pelan (dulu) mulai dibasmi,” kata Anggun dalam program d’Mentor detikcom, Kamis (30/3/2023).

“Yang pasar sampai ditutup segala macam, itu menurut saya perlu ada sosialisasi dulu. Terus kemudian regulasinya diperjelas sehingga mereka nggak menerima berita yang mungkin ‘mau dibasmini, mau dihancurkan’, jadi mereka kalang kabut juga,” tambahnya.

Anggun membeberkan dampak dari larangan jual baju bekas impor yang masif belakangan ini membuat para pedagang kesulitan mendapatkan pasokan. Baginya sendiri sebenarnya tidak terlalu berdampak karena tokonya juga memasok baju bekas lokal.

“Sekarang yang jadi sulit adalah memang pemasoknya barang-barang itu. Mungkin kalau teman-teman pedagang yang memang dapatnya impor langsung dari bal-bal di luar, itu pasti merasakan sekali dampaknya. Kalau saya masih menjual barang-barang yang saya pakai, terus saya jual lagi itu nggak terlalu berdampak,” jelasnya.

Anggun sendiri memilih bisnis thrifting karena mengaku potensi pasarnya sangat besar. Di sisi lain juga dianggap mengurangi limbah tekstil.

“Orang tuh cepat (tertarik) apalagi yang brand (bermerek) ya, mungkin karena harganya lebih murah terus kualitasnya masih bagus, jadi mereka lebih memilih ke sana,” bebernya.

Perlu diingat bahwa pemerintah hanya melarang perdagangan baju bekas impor, kalau pakaian bekas dari lokal tetap diperbolehkan. Hal itu untuk menghindari citra yang buruk terhadap Indonesia.

“Di Pasar Senen itu pemerintah menyediakan lapak buat pedagang pakaian bekas, tapi bukan impor. Itu kan limbah ya, (kalau impor) nanti negara lain bilang ‘eh mau buang limbah? Ke Indonesia aja’, kan nanti image negeri kita nggak bagus,” tutur Plt Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Moga Simatupang.

Kedua, penjualan baju bekas impor dinilai akan mengganggu minat orang untuk berinvestasi di Indonesia. “Ngapain kita investasi mahal-mahal setelah jadi pakaian ternyata ada barang bekas ini yang Rp 50 ribu bisa dapat 2, sementara mereka production cost-nya bisa mencapai Rp 200-300 ribu, kan nggak fair,” tambahnya.

Ketiga, dampak penjualan baju bekas impor akan menggerus pasar UMKM lokal dan menyebabkan kerugian negara karena pemasok melakukan bisnisnya secara ilegal sehingga tidak membayar kewajibannya berupa pajak.

“Dengan importasi pakaian bekas, kurang lebih data 2021 yang kami dapat dari Kemenkop UKM itu terdampak terhadap 533.127 UKM dan juga itu sudah menguasai pangsa pasar domestik 31%. Kalau unrecorded impor itu termasuk pakaian dan sepatu totalnya sebesar Rp 110,2 triliun pada 2020,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!